Resensi Buku Antologi Puisi Pelajaran Menggambar Bentuk

pelajaran-menggambar-bentuk
@tengsoe

 Judul Buku : Pelajaran Menggambar Bentuk
Penulis : Tengsoe Tjahjono
Ilustrator : Tengsoe Tjahjono
Desain Sampul dan Tata Letak : Alex Subairi
Ukuran : 14,5 x 21 cm
Kertas : Bookpaper
Isi : Hitam putih
Cover : Softcover
Terbit : Februari 2023
Jumlah Hal : xxvi + 136
Penerbit : SIP Publishing
Harga : Rp. 85.000
ISBN : 978-623-337-879-6


"Satukan aku dengan kolam"
Jadilah kau ikan
Memainkan ekor dan sirip di pagiku

Di bawah klengkeng yang berbunga
Hatiku berenangan di kolam
Memainkan ekor dan siripmu

Kecipakmu guratan lukisan air
Ciuman di antara lumut dan batu

(Kolam, Hal. 69)

Setiap kali jendela dibuka
Sepasang kupu-kupu memainkan korden

Pemilik bilik melihat cermin
Memandang kekasih berjalan menjauh

Sepasang kupu-kupu mengeras di botol 
"Kalian sungguh tolol menertawakan kedunguanku."

(Jendela, Hal. 68)

A. Sekilas Mengenai Putiba

Berbeda dengan dunia nyata, dunia khayal merupakan sebuah tempat dimana tanpa aturan yang memberi kebebasan bagi setiap individu dalam berekpresi. Salah satu media berekpresi yang menyenangkan adalah puisi. Selain berfungsi sebagai ekspresi diri, puisi juga berperan penting sebagai alat hiburan dan didikan. Pada angkatan pertama Balai Pustaka (1920) dan angkatan kedua Pujangga Baru (1930) puisi dianggap sebagai momok yang menakutkan. Tersebab ia gelap, susah dimengerti, dan sulit ditulis. Setelah kemunculan Angkatan 45 yang dipelopori oleh Chairil Anwar dan teman-teman pujangga lainnya gaya puisi cenderung bebas tidak terikat pada bait, jumlah baris, dan persajakan (rima). Namun yang keliru adalah sejak hadirnya puisi bebas, orang cenderung berpikir jika menulis puisi pastilah gaya bebas, padahal kenyataannya tidak selalu demikian. Masih banyak kita temukan kelompok-kelompok pemuisi yang menyukai pola-pola terikat. Bagi saya pola-pola terikat pada puisi tidak melulu diartikan mengekang kreativitas dan kebebasan, justru jika berpikir sebaliknya, dengan adanya pola tersebut kita (sebagai pembuat puisi) merasa punya pegangan, punya tuntunan dalam proses kreatif pembuatan puisi.

Puisi lama adalah jenis karya sastra yang diciptakan nenek moyang sejak zaman dahulu. Biasanya puisi lama terikat pada baris, bait, rima, irama dan masih sangat murni kelokalan (tidak terpengaruh budaya asing). Puisi jenis ini merupakan puisi yang memiliki pola-pola tertentu yang mengikat seperti pantun, syair, gurindam, karmina, talibun, seloka, mantra dan soneta. Akhir-akhir ini muncul sebuah genre puisi baru yang dirangkai dengan tatanan baru yaitu PUTIBA dan PUTIBAR. Istilah dari akronim Puisi Tiga Bait (PUTIBA) dan Puisi Tiga Baris (PUTIBAR) dicetuskan oleh Prof Tengsoe Tjahjono, dosen sekaligus seorang penyair dan penggagas PENTIGRAF (Cerpen Tiga Paragraf) dan TATIKA (Cerita Tiga Kalimat).

B. Profil Penyair


Tengsoe Tjahjono (Lahir Jember, 3 Oktober 1958) dibesarkan di Banyuwangi tanah kelahiran orang tuanya adalah Sastrawan kebangsaan Indonesia. Dia pernah menerima penghargaan di bidang sastra dari Gubernur Jawa Timur (2012). Kini menjadi tenaga pengajar di Universitas Negeri Surabaya. Pernah menjadi dosen tamu di Hangkuk University of Foreign Studies Korea Selatan (2014 - 2017). Buku puisinya Meditasi Kimchi mendapatkan anugerah Sutasoma (2017) Balai Bahasa Jawa Timur. Ia menggagas format cerpen tiga paragraf (pentigraf) yang kini menjadi pilihan para pecinta fiksi pendek. Di samping itu ia menggagas format cerita tiga kalimat (tatika), serta mengangkat format puisi tiga bait (putiba) yang sesungguhnya sudah ada sejak dulu. Karya terbarunya adalah Antologi Puisi Rupa "Dari Menjerat Sepatu sampai Membuka dan Menutup Jendela (2020) yang merespons karya lukis Charles Djalu.

C. Apa Kata Mereka


Ungkapan sajak-sajak Tengsoe Tjahjono lugas dan sederhana, namun indah dan segar. Dibutuhkan "kecerdaan puitik" (poetic quotient) untuk menulis sajak-sajak semacam itu.
(Ahmadun Y. Herfanda, penyair)

Pesan mendalam, tafsir meluas, isyarat menggema, dalam susunan diksi yang membangun tidak sekedar peristiwa, bahkan hal-hal yang mungkin belum terjadi. Kumpulan puisi ini, Pelajaran Menggambar Bentuk, mengajari kita menangkap getar semesta tanpa mengada-ada.
(Kurnia Effendi, penulis prosa dan puisi)

Putiba dalam antologi ini merupakan ungkapan puitis yang sangat kaya karena membawa biji arti, imaji, dan inspirasi sejauh dan sepanjang, bahkan sedalam, pembaca ingin mengelanai serta menelusuri. Dua kata untuk antologi putiba Tengsoe Tjahjono: " menginspirasi" dan "mencerahkan".
(Heru Marwata, pemulia sastra, dosen FIB UGM Yogyakarta)

Namun, begitu kita membacanya, langsung terbuka getaran dan godaan ke berbagai renungan dan pemikiran. Siapa bilang "airmata puisi" tidak bisa digambar? Jahe Tua Tengsoe Tjahjono terbukti mampu menggambarnya dengan kuat untuk kita.
(Agus R. Sarjono, penyair)

Membaca puisi-puisi Tengsoe Tjahjono saya seperti melihat aneka gambar tentang suasana, peristiwa, tempat atau benda dari sudut pandang yang tidak biasa. Puisi-puisinya yang cenderung pendek menjadi terasa panjang karena berhasil menampilkan beragam cerita unik dan mencengangkan di balik diksi-diksinya yang memang kuat.
(Acep Zamzam Noor, penyair)

D. Pramusaji

Sastra 3 yang dipelopori oleh Prof. Tengsoe Tjahjono berupa pentigraf (cerpen tiga paragraf) , putiba (puisi tiga bait), putibar (puisi tiga baris), tatika (cerita tiga kalimat) kini tengah digandrungi banyak kalangan. Pada ranah puisi, putiba merupakan genre baru dalam dunia perpuisian, dengan mengikatkan kreativitas pada suatu pola tertentu yang sejak lama sudah ada. Prof. Tengsoe bermaksud membangkitkan kembali kejayaan puisi lama sebelum Angkatan 45 yang identik dengan kepatuhan baris, bait, rima, dan irama.

Tampaknya angka 3 begitu krusial bagi Prof. Tengsoe juga tradisi masyarakat Indonesia terutama agama pada umumnya. Dalam bukunya Berumah Dalam Sastra 3, Tengsoe menjawab dengan kelakar ketika ada pertanyaan mengapa "anak kandung" sastra yang dilahirkan selalu berformat 3. "Mengapa 3? karena saya lahir tanggal 3 dan anak saya berjumlah 3, katanya tertawa."

Ide awal sastra yang serba 3 bermula dari kegelisahan Tengsoe dalam menyikapi perubahan zaman yang dihadapi masyarakat terutama bidang sastra kian cepat dan singkat. Diperlukannya kesadaran antara karya dan pegiat sastra untuk bersama-sama menjaga kelestarian sastra agar tidak ditinggalkan oleh masyarakat. Sejak bumingnya media sosial berupa instagram banyak beredar tulisan-tulisan putis berbentuk quote. Tengsoe berpikiran bahwa orang akan malas membaca karya sastra yang cenderung panjang-panjang. Ia yakin kekuatan yang tersimpan pada karya sastra serba 3 ini dapat menjadi jawaban atas tuntutan zaman.

Saya selalu bertanya-tanya dalam hati apa perbedaan yang mencolok antara seseorang biasa yang tidak bergelar akademik tinggi dengan seseorang yang bergelar akademik tinggi dalam hal ini sampai pada tingkat keilmuan professor pada proses kreatif pembuatan puisi? pertanyaan tersebut selalu memancing rasa penasaran, bukan lantaran membandingkan yang satu berkualitas dan yang lain tidak, akan tetapi seperti apa wujud atau rupa puisinya? gaya bahasa apa yang cenderung dominan digunakan? bagaimana cara menjelajah maknanya? apa perlu dibutuhkan usaha pembacaan dan penginterpretasian yang jauh berlipat kali berbeda?. Kita semua sudah tahu banyak para sastrawan yang hanya mengenyam pendidikan sampai bangku SMA. Meskipun ada juga yang lebih dari itu. Kebanyakan buku puisi yang saya baca selama ini adalah sastrawan yang hanya berpendidikan terakhir SMA seperti contoh penyair besar Ajip Rosidi. Membaca sajak-sajak Prof. Tengsoe merupakan suatu angin segar bagi saya, apalagi perwajahan puisinya yang amat baru mengusung sastra serba tiga.

Bagi saya 65 puisi tiga bait ini, sangatlah spesial. Sebagai pembaca, saya menikmati membaca lembar demi lembar sajak antologi Pelajaran Menggambar Bentuk, karena mengusung puisi yang amat ringkas, padat, dan teratur tapi memiliki wilayah pemaknaan yang mendalam. Sempat saya mengira bisa menyelesaikan antologi tengsoe dalam waktu 2 sampai 3 jam, ternyata salah saya bisa menghabiskan seharian untuk menyelesaikannya. Lagi, lagi puisinya yang ringkas, pendek, padat semakin terasa panjang buat saya, seolah ia memiliki sihir memanjangkan pikiran, memanjangkan larik, memanjangkan makna semua tersendiri.

Pelan-pelan saya pahami setiap benda-benda yang dipilih sebagai objek dari puisi-puisi penyair adalah benda yang tidak asing bagi kita, karena benda-benda tersebut menemani atau sangat dekat dengan keseharian kita. Tengsoe mencoba beri gambaran benda, peristiwa, keadaan yang sering tidak kita pedulikan. Biasanya terhadap sgala sesuatu yang sudah kita kenali atau tidak asing bagi kita maka sikap kita akan berkurang dari segi atensi terhadap kebendaan itu. Rasa penasaran kita cenderung kuat pada hal-hal baru yang sama sekali belum disentuh panca indera.

Puisi-puisi Tengsoe selalu memberikan pencerahan lewat kedalaman pikir dan tafsir. Sebagai seorang pembaca puisi dengan background pendidikan yang bersebrangan, memahami simbol beserta ilustrasi tengsoe dibutuhkan kesabaran, pengulangan, dan kondisi puitik yang menuntut waktu luangnya kesendirian. Puisi-puisinya kaya akan interpretasi. Apakah simbol itu objektif bukan subjektif? bebas dari kungkungan sosial budaya? dan tidak terikat dengan pengalaman bertingkat pembaca? jawabannya hanya bisa ditemukan setelah Anda membeli buku ini dan melakukan permenungan mendalam terhadap larik-lariknya.

E. Bedah Puisi

MEMBUKA PAGI//Aku buka jendela/Tak ada gunung-gunung/hanya ketemu gedung-gedung/Matahari tenggelam dan mencair/Menyungai di jalan-jalan/Pagi sekarang/begitu sibuk/Lupa berjemur di bawah matahari 2022/. Puisi berjudul "Membuka Pagi" adalah puisi pertama yang akan saya bahas. Bait pertama, bisa kita simak si penyair membuka jendela pemandangan yang langsung terlihat adalah bukan gunung-gunung tapi gedung-gedung yang artinya keindahan alam makin tergerus, digantikan bangunan-bangunan pencakar langit, sudah tidak ada lagi lapangan bola dengan rumput hijaunya, tidak ada tempat bermain petak umpet, tidak ada tempat bersenda gurau bersama kekasih. Si penyair ingin menjelaskan kalaulah apa yang dirasakan periode dahulu jauh berbeda dengan sekarang. Ada semacam kerinduan yang tepercik dalam benaknya, jika mesin waktu benar adanya mungkin ia akan segera kembali ke masa lalu. Bait kedua, si penyair sampaikan bahwa matahari tenggelam dan mencair, menyungai di jalan-jalan. Ini menegaskan eksistensi matahari kini mulai tidak dihiraukan. Rutinitas para "manusia karir" yang berangkat kerja dalam keadaan gelap (tanpa cahaya) menuju tiba pulang dalam keadaan gelap (tanpa cahaya), seolah sinar alami matahari tergantikan cahaya kelap-kelip lampu kota dan ruangan kerja. Bait ketiga, si penyair tidak nyaman dengan kondisi pagi sekarang, begitu sibuk sampai-sampai lupa berjemur di bawah matahari. Secara tidak langsung, ia menilai pagi kehilangan kelonggaran atas waktu. Pagi kini terlalu ramai, sesak, padat, pengap, macet, juga penuh ketergesa-gesaan, penuh saling tikung, pagi sudah tercemar bukan lagi pagi yang bernuansa sejuk diiringi suara cericit burung dan embun jatuh dari daun talas.

DAUN PINTU//Sebagai daun ia tak memiliki klorofil/Tempat energi diolah sebelum dialirkan/Hanya setiap kali diketuk, terdengar salam hangat/Pengembara yang memerlukan tumpangan/Dan kawan berbincang/Dari daun pintu yang terbuka/Orang bisa memandang ke dalam dan ke luar/Dua dunia yang siap berpeluk/Menyatukan ruang perbedaan/Angin hanya lalu/Tak mungkin menutup daun pintu/Yang setia diketuk setiap waktu/. Bait pertama, disini penyair meminjam metafor untuk menyebut pintu sebagai daun yang berklorofil, mengingat daun pintu mengandung arti sebagai tempat masuk dan keluar. Klorofil merujuk aktivitas berjabat tangan-tangan imajiner, Tempat energi merujuk hasrat untuk saling membuka diri dari keterasingan, tapi ia sadar cuma daun pintu, ia cuma tempat persinggahan sementara para pengembara, sebentar hangat lalu sekejap dingin, membeku setelah kepergiannya tanpa permisi. Bait kedua, menjelaskan sebuah media penghubung antara dunia di dalam dan di luar, sifat saling melengkapi disini terasa sekali seperti barang komplementer ex. sepatu + kaos kaki, cinta + hati. Bait ketiga, rasa rindu yang tidak bisa dituntaskan oleh diri sendiri, perasaan yang tersimpan milik daun pintu yang tiba-tiba kesepian setelah seseorang yang biasa mengetuknya kini menjelma angin yang tak bertangan.

SORE//Ini sudah sore, katamu/Saatnya matahari terpejam/Langit kembali kelam/Jiwa-jiwa menuju pulang/Dari tualang/Membawa sepi atau berkas mimpi/Atau capek daun digoncang angin/Pada sore seperti ini/Dzikirmu sampai dimana?/. Bait pertama, memiliki arti bahwa segala sesuatu ada masanya, ada kadaluarsanya. Setelah masa waktu yang diberikan habis maka suatu keadaan harus berganti ke keadaan lainnya. Bait kedua, menjelaskan saat suatu keadaan beralih ke keadaan yang baru, maka proses yang terjadi sebelumnya yang telah mengalami kristalisasi atau endapan ikut juga terbawa ke keadaan baru. Bait ketiga, penyair mempertanyakan sejauh mana puji-pujian atau seserahan kita pada sang pencipta atau mungkin kita lupa bersyukur akan kebesaran Tuhan.

BERJARAK//Betapa penting berjarak/Waktu lalu dan kini/Biar kenangan tak menikam harap/Hari-hari hampa musti diisi/Suara dan kata-kata/Jejak yang tak bisa tiada/Berjaraklah/Biar leluasa memulas warna/Pada bentang semesta/. Bait pertama mengurai masa lalu itu tidak semua manis, kebanyakan pahit. Dibutuhkan proses "melupakan" yang memakan waktu lama agar tertimbun kenangan atau peristiwa atau kondisi baru. Kenyataannya, kita sulit keluar dari bayang masa lalu karena puing-puingnya masih tersisa harap yang kian besar di angan di keinginan yang kelak semoga menyata. Bait kedua, membawa saya kepada suatu ungkapan Rene Descartes, filsuf ternama dari Prancis, "Cogito ergo sum" artinya "Aku berpikir maka aku ada" maksudnya bahwa satu-satunya hal yang pasti di dunia ini adalah keberadaan seseorang sendiri. Bagaimana jika saya pelesetkan jadi, "aku menulis maka aku dikenang", adakalanya usia tulisan suatu karya melebihi usia penulisnya.

SECARIK KERTAS//Secarik kertas tak lagi punya tugas/Di layar komputer kata bisa dilepas/Digerakan kursor sebelum disembunyikan pada file dan folder/"Sia-sia aku kini, pecundang yang menyedihkan/Secarik kertas makin tersudut/Lenyap ditelan tumpukan kalut/. Bait pertama menunjukkan pergeseran fungsi kertas sebagai media tulis yang tergantikan dengan laptop, tablet, ponsel genggam. Nilai fungsi yang tergantikan disisi lain membawa dampak positif terhadap kelestarian pohon. Tetapi apakah demikian?. Dengan kecanggihan teknologi sekarang, para penulis yang menulis di laptop, tablet dengan mudahnya dapat menghapus, menambahkan, mengurangkan paragraf karangan, memberi ilustrasi sendiri dan lain lain. Kondisi yang tidak mungkin dilakukan di tahun 1980-1990 an dimana mesin tik masih jadi alat utama menulis yang jika salah mengetik menekan bilah balok abjad maka harus ganti kertas. Memakan waktu, butuh usaha lebih dalam pengoperasian, dan tidak mentolerir kesalahan. Bait kedua, penyair menyelipkan majas personifikasi membuat si kertas berpikir "sia-sia aku kini, pecundang yang menyedihkan", kertas mulai dilupakan, dinomor duakan, merasa tidak jadi primadona lagi. Bait ketiga, menyiratkan walaupun saat ini kehadiran aku masih dianggap penting, mungkin saja di waktu mendatang aku benar-benar akan lenyap dari peredaran. Bait ini bercerita tentang kegelisahan kertas yang makin hari makin tersudutkan oleh perkembangan teknologi. Kertas disini digubah penyairnya menjadi overthinking.

MESIN TIK//Entah apa yang dipikirkan/Bilik itu kehilangan tik-tak/Satu persatu peristiwa lalu/Dihapus gerimis/Esok jadi tertunda/Merampungkan kisah di kamar mandi/. Puisi ini menceritakan tentang kerinduan sebuah ruang akan bunyi setiap balok mesin tik ditekan, ia mencari sosok yang menemaninya sepanjang gerimis dulu tapi tidak ketemu sampai-sampai, gerimis melunturkan huruf demi huruf dalam kertas itu. Meski segalanya telah luntur ia berharap hari esok tidak datang. Kertas yang basah oleh gerimis  menurut si bilik itu ada baiknya dibawa mandi saja agar jika sosok yang ditunggu menekan balok-balok mesin tik lagi, ia senantiasa bersih, putih siap untuk sebuah cerita baru.


Tidak ada komentar:

Posting Komentar