Sajak-Sajak Rainer Maria Rilke

 
sajak-sajak-rainer-maria-rilke
Diva Press

Judul : Kedalaman, Terarah Padamu
Penulis : Rainer Maria Rilke
Editor dan Penerjemah : Berthold Damshauser & Agus R Sarjono
Cetakan : 1, Juli 2020
Tata Sampul : Amalina
Halaman 108
Penerbit : DIVA Press
ISBN : 978-623-293-000-1


Biodata Pengarang

Rainer Maria Rilke (lahir 4 Desember 1875 - meninggal di Montreux, Swiss 29 Desember 1926 pada umur 51 tahun), dianggap penyair bahasa Jerman terbesar abad 20. Karyanya yang terkenal antara lain Sonnets to Orpheus, Duino Elegies, Letters to a Young Poet, dan The Notebooks of Malte Laurids Brigge. Ia juga menulis lebih dari 400 puisi dalam bahasa Prancis, didedikasikan untuk tempat tinggal pilihannya, Kanton Valais di Swiss.

Beberapa pilihan sajak karya Rainer Maria Rilke dalam buku Kedalaman, Terarah Padamu


Kehidupan Tak Usah Dipahami


Kehidupan tak usah dipahami,
maka ia jadi pesta.
Biarkan hari-hari berjalan
seperti kanak tanpa beban
dihadiahi kelopak aneka warna
oleh sejuknya hembusan angin.
Mengumpul menyimpan segala
sungguh si kanak tak ingin.
Kelopak dilepaskan dari rambutnya,
tempat mereka terpenjara;
pada umur yang manis dan muda
tangan meminta tambahan usia.

(1899?)


Padamkan Mataku


Meski kau padamkan bara mataku: aku masih melihatmu,
Sumbatlah rapat telingaku: aku masih mendengarmu,
Tanpa kaki aku masih mampu mendatangimu,
Mulut tiada aku masih sanggup memanggilmu
Potonglah lenganku, aku masih sanggup memegangmu
dengan jiwaku menjelma tangan
Remaslah jantungku, otak kan berdenyut, 
Dan jika otak kau ledakkan, 
Dengan darah kau kupagut

(1899)

Kesepian


Kesepian laksana hujan
Bangkit dari laut menyongsong malam;
dari dataran-dataran yang jauh dan terpencil,
menuju langit yang selalu memilikinya.
Dan dari langitlah ia lalu berguguran di atas kota.

Turun seperti hujan di saat - saat dini,
bila semua lorong menatap datangnya pagi
dan bila tubuh-tubuh yang tak menemukan apapun
kecewa dan sedih, saling menjauhi;
dan bila orang-orang yang saling membenci
mesti bersama

maka sirnalah kesepian itu
seiring dengan sungai-sungai

(Paris, 1902)

Kegilaan


MEREKA diam karena dinding-dinding terbelah
terpecah dalam isi kepala,
dan jam-jam ketika mereka sama sekali bisa dimengerti
memulai dan meninggalkan kembali.

Seringkali ketika mereka pergi melalui jendela pada malam hari

Segalanya tiba-tiba tampak baik-baik saja:
tangan-tangan mereka menyentuh sesuatu yang nyata,
hati mereka mulia dan mampu mendoakan,
mata mereka yang tenang menatap

turun demi yang tidak diharapkan, acapkali melesap
taman dalam jeda peristirahatan yang menenangkan ini,

ada akibat dunia yang asing
tumbuh semakin besar, tak pernah hilang

Leda


KETIKA tuhan dalam kehendaknya merayu demi
angsa itu, keindahan yang pergi membuat kecemasan
semakin dekat; tapi, mesti khawatir ia lenyap dalam burung itu.
lalu dengan sigap bersiap menyingkap tipu daya

atas nama perbuatan yang belum terbukti terjadi
perasaan dalam makhluk itu belum pernah muncul. Tapi ia tahu
siapa yang siap menjelma angsa dan bergerak untuk hasil dari
satu hal yang mesti ia lakukan.

Perjuangan dan kekhawatiran, ia tahu arah tak kemana

bersembunyi darinya atau bagaimana ia bisa bertahan...
lehernya menyelinap melalui sayapnya yang terus melemah

dan atas nama cinta ia melepaskan langkah yang ilahi
Lalu ia merasa bahagia pertama kali dalam bulu-bulunya
dan menjelma sesungguhnya angsa dalam pangkuannya

Macan Kumbang


Tatapannya lelah, letih oleh wira-wiri jeruji,
hingga pegangan baginya tiada lagi.
Seakan jeruji berjumlah selaksa,
dan di seberangnya dunia tak ada.

Langkahnya yang anggun dan perkasa
berputar-putar di sempit lingkarannya,
bagai tari kekuatan mengitari sumbu,
tempat berdiri tekad akbar terbelenggu

Cuma kadang tirai anak mata
menyingkap bisu -.Menyusuplah citra
rasuki senyap nan tegang di raga,
lalu sirna dalam jiwa

Penasbihan Muhammad


Saat masuki tempat berkhalwat
Sang Agung tak tertukarkan: Malaikat
menyala benderang, suci, tegak tegap,
Muhammad tak meminta. Berharap

boleh tetap menjadi si pedagang,
meski perjalanan niaga kacaukan jiwa.
membaca, ia tak pernah - kini dipaksa
mengeja firman, bagi cendekia pun tak gampang.

Tegas menuntu, Sang malaikat tak lelah-lelah
Sodorkan tulisan, seperti tuan pada hambanya,
tak kenal ampun dan tegas menuntun: Bacalah!

ia pun menyatu dengan bacaan,
bisa dan ada dalam membaca. dan firman pun
diwujudkan. Malaikat keder, takjud, terdiam

(1907)

1 komentar: