Resensi Buku Kumpulan Puisi There Is No New York Today


@lubukbukumy


Judul Buku : There Is No New York Today
Penulis : M. Aan Mansyur
Fotografer : Mo Riza
Penata Letak : Emte
Penerbit : PT Gramedia Pustaka Utama
Tebal : 120 hlm
Format : Paperback
Genre : Fiksi/Puisi & Sastra
Cetakan : 6, Mei 2016
Harga : Rp. 52.000
ISBN : 978-602-03-2723-5
My Rating : 4.8 of 5 Stars

 

Andai saja perihal yang tersimpan dalam benak
mengetuk pintu ingatan hanya bila dibutuhkan
seperti seseorang yang mengantar kotak pizza
ketika kau lapar dan cuma ada tumpukan piring
kotor di dapur

(Di Tempat Jauh Tidak Ada Masa Lalu, Hal. 50)

Aku senang memikirkanmu. Aku senang merasakan
darah dan napasku terbelah. Dua sungai terpisah.
Semua menolak sampai di muara. Aku senang
memikirkanmu. Aku senang menyadari waktu tiba-tiba
berhenti dan bertanya : usai disini saja?

(Aku Senang Memikirkanmu, Hal. 109)

 

Tidak sedikit kita jumpai karya sastra yang berhasil diadaptasi menjadi sebuah film layar lebar. Sebut saja, Film Hujan Bulan Juni karya Sapardi Djoko Damono merupakan tafsiran dari puisi berjudul serupa yang tayang November 2017 silam. Pada kasus kumpulan puisi Aan justru kebalikannya, puisi lahir dari adaptasi sebuah film. Buku ini memuat puisi-puisi hasil adaptasi Film Ada Apa Dengan Cinta ? (AADC). Baik film pertama dan kedua memang mengilhami karya puisi dalam buku ini. Bila kita bandingkan dengan buku Melihat Api Bekerja, keduanya sama-sama kita jumpai di beberapa bagian ada yang menonjolkan puisi lirik dan puisi naratif dengan gaya bertutur yang sederhana seolah pembaca sedang berhadapan langsung dengan si penulis.

Film AADC sendiri berisi tentang masa-masa di SMA dan segala konfik yang menyertainya. Cerita kisah asmara berpusat pada dua tokoh utama Rangga dan Cinta. Hingga sampai pada berpisahnya mereka, lantaran Rangga harus berangkat ke Amerika. Cinta menyusul ke Bandara dan memintanya untuk tetap tinggal. Tetapi Rangga tetap melanjutkan rencana studinya dan berjanji akan kembali saat bulan purnama.

Ada baiknya jika kita mengingat kenangan yang telah bergulir ke belakang, selama 21 tahun lalu. Dimana saat itu sedang santernya film AADC 1 yang dirilis tahun 2002 dibintangi oleh Nicholas Saputra dan Dian Sastro, ending filmnya begitu menggantung, Rangga berpisah dengan cinta ke Negeri Paman Sam yang hanya dirayakan dengan sebuah ciuman pendek penuh ironi. Seolah kita dibuat penasaran dan harus menunggu jawaban si Cinta setelah 14 tahun lamanya. Akhirnya setelah penantian panjang pada tahun 2016, saya menyempatkan diri menonton AADC 2. Di film yang kedua ini, semua permasalahan dan jawaban yang belum didapat terbongkar dan terjawab sudah. Ending filmnya saya menilai bagus, bahkan saya pikir perlu ada kelanjutannya AADC 3 yang harusnya mengulas kehidupan setelah pernikahan Cinta dan Rangga.

Selama Rangga mengasingkan diri ke New York, ada hal menarik terjadi. Ternyata ia bersama hari-hari sepinya telah melahirkan beberapa puisi yang romantis ditujukan untuk kekasih dambaannya. Puisi-puisi yang dibacakan rangga di filmnya, ditulis oleh sang pujangga asal Sulawesi M. Aan Mansyur. Ada empat puisi yang akan muncul pada AADC 2 dari 31 puisi Tidak Ada New York Hari ini. Salah satunya adalah puisi yang berjudul "Batas". Buku ini bukanlah buku pertama Aan yang saya punya, sebelumnya pun saya sudah membaca; Melihat Api Bekerja, Cinta yang Marah, Sebelum Sendiri, Aku Hendak Pindah Rumah dan masih banyak lagi.

Jika kita tengok karya Aan sebelumnya seperti Melihat Api Bekerja, Aan berkolaborasi dengan Emte dan saya menilai kolaborasi itu sangat berhasil dan menghasilkan karya yang luar biasa. Begitu pun dengan kolaborasi Aan dengan Mo Riza, buku Tidak Ada New York ini dipenuhi ilustrasi atau potret kehidupan warga Amerika dengan mengusung gaya street photography, dan saya terlambat mengetahui bahwa di balik proses pembuatan buku puisi ini, Aan ini belum pernah ke New York dan merasakan langsung bagaimana kondisi di sana. Ia hanya melakukan riset saja mengenai kehidupan di Amerika dan itu luar biasa bagi saya, bagaimana bisa puisi tercipta dari peristiwa yang tidak kita alami langsung? apakah dengan berlandaskan riset puisi yang tercipta memiliki rasa atau makna mendalam? apakah sumber inspirasi puisi bisa didatangkan hanya dengan melihat koleksi foto-foto tertentu?

Dalam puisi-puisi karangan Aan di buku ini, tampak jelas suasana dan perasaan yang dituturkan narator adalah ungkapan hati Rangga yang terserang kesendirian, kemarahan, kerinduan, keresahan, penyesalan. Semakin diperkuat dengan foto-foto menawan karya Mo Riza yang bertema street photography dan disajikan dalam format hitam putih. Di setiap halaman buku terlihat banyak potret-potret mendukung bagi pembaca untuk lebih mudah "mencerna makna dalam" terhadap puisi Aan seperti aktifitas menyebrang jalan, siluet pasangan, menunggu kereta bawah tanah, pelukan perpisahan.

Bagi Anda yang ingin menikmati buku ini, kurang lengkap rasanya jika belum menonton Film AADC 1 & 2. Mengingat kesan pertama setelah saya selesai membaca buku ini adalah sosok rangga yang kian kental mendominasi keseluruhan isi cerita puisi ini. Bahasa yang digunakan pun bahasa curhatan sederhana tapi terselip makna yang perlu "digali" sehingga membuat kita tidak bisa mengatakan selesai jika tidak mengulang-ngulang membaca buku ini. Buku ini sangat cocok bagi Anda yang ingin rehat sejenak dari hiruk pikuk rutinitas sehari-hari. Melaluinya, Anda akan dibawa ke nuansa nostalgia yang bisa saja di dalamnya banyak sekali ingatan menyembul ke permukaan seperti salah satu potongan puisi Aan, "kau yang panas di kening, kau yang dingin di kenang".

4 komentar: