Resensi Buku Kumpulan Puisi Sebelum Sendiri


resensi-buku-kumpulan-puisi-sebelum-sendiri
@bookatticstories

Judul : Sebelum Sendiri
Penulis : M. Aan Mansyur
Penata Sampul : Yovi Setia Umbara
Cetakan : 2, Mei 2021
Jumlah Hal : 84
Penerbit : JBS
Harga : Rp. 55.000
Berat : 200 gr
ISBN : 978-602-61256-0-6


diriku, di antara segala hal yang tidak kupahami,
terlalu cepat kupelajari dan terlampau lambat
kumengerti, dan kau

di kejauhan, ada seseorang dalam dirimu
melarang mengasihi diri lain. masa lampau
yang membuat kopi pagi tidak butuh
gula dan kawan bicara

(Hal 3)

cuma tersedia masa kini. namun orang-orang mengangankan masa depan.
aku terperangkap di masa lampau. dan tidak ada lagi yang ingin pulang.

(Hal 17)

kematian berseru kepadamu : jangan berhenti. tetapi
kau tahu kau tidak memiliki tujuan dan tempat kembali

(Hal 32)

Pertemuan saya dengan buku kumpulan puisi sebelum sendiri terjadi pada tahun 2017 bulan Juli. Waktu itu saya tidak tahu bahwa hampir sebagian besar buku Aan dicetak oleh Penerbit Indie, sehingga saya kesulitan untuk memperoleh bukunya meski sudah banyak toko online di platform instagram bertebaran. Mengingat harus pre order dulu dan itu terbatas, apalagi jarak pengiriman paket yang lumayan jauh ke lokasi saya di Kabupaten Bogor.

Alasan yang membuat saya terdorong untuk mengkonsumsi buku Aan adalah saya jatuh cinta pada pandangan pertama saat melihat hardcover, judul dan ukurannya yang mungil. Berkat olahan penata sampul Yovi Setia Umbara dan foto sampul "into you" karya Musa Bin Hamdani juga penata isi Mawaidi D. Mas terlihat elegan dan praktis layaknya buku saku. Yang tidak kalah menarik adalah dibubuhkannya tanda tangan langsung dari penulis.

Ada empat bagian dalam buku ini, yakni (a) sebelum sendiri, (b) berbincang dengan langit, (c) seorang perempuan mendaki bukit, (d) theory of discoustic : a remix, dan untuk edisi terbaru selain desain dan tampilannya juga ditambahkan puisi Mata yang Lain yang terdiri dari 23 fragmen yang pada edisi sebelumnya tidak ada. Dengan penambahan judul ini, membuat buku sebelum sendiri tetap layak dikoleksi oleh mereka yang sudah memiliki edisi sebelumnya.

Kendati tidak seperti dua buku sebelumnya "Melihat Api Bekerja dan There Is No New York Today" yang dipenuhi ilustrasi dan halaman yang tergolong tebal, tetapi tema yang digarap luas dan cukup berat. Bukan hanya tentang percintaan seperti di There Is No New York today serta bukan hanya tentang percakapan antara sesama perempuan, ibu, jembatan, dan lain-lain. Di buku ini akan banyak kita temukan puisi tentang aku, bagaimana si aku ini bertanya perihal dirinya sendiri, mengapa ia ada dan untuk apa ia dilahirkan, ia bertanya pada kematian, ia begitu keheranan pada sebagian kecil keindahan semesta seperti langit dan laut yang diajaknya berbincang. Seperti pembicaraan orang tak waras, mengajak benda mati dan sesuatu yang sudah adikodrati dan mutlak untuk meragukan diri merek sendiri. Tolong, jiwa saya pun ikut terkikis dan terbelah-belah menjadi prisma membaca ini, emosi saya teraduk-aduk mencari pencerahan yang nyatanya adalah kesemuan belaka, meski begitu sudah menjadi tugas saya mencari "kejelasan jati diri saya" dan puisi ini semacam gerbang pembuka menuju ke sana.

Sekali lagi saya akan bahas dengan bibir sumringah, dalam buku ini dijumpai banyak sekali pertanyaan-pertanyaan keresahan terhadap diri sendiri yang kian mengalir begitu saja tanpa mengenal tanda baca titik. Sesuai dengan kalimat pembuka di awal, "kepada seseorang dalam diriku yang selalu kuragukan" dengan tersirat pengarang menceritakan bagaimana si aku tersesat di rerimba keakuan, dalam perjalanannya, menemukan siapa aku sebenarnya dan mengapa aku ada, terutama untuk mencukupkan siapa, seseorang dalam dirinya kehilangan arah lantaran rambu-rambu peta memudar perlahan. Dalam proses ketersesatannya, aku dalam dirinya mencoba menjawab pertanyaan dengan pertanyaan, seolah pertanyaan ada bukan untuk menjawab keingintahuan tapi untuk menguatkan penerimaan yang harus bersih dari kritisi logika.

Nuansa sepi dan sendiri beserta kecarut-marutan demikian pekat nan kental. Menjadi semacam refleksi tentang segala hal yang pada akhirnya mengembalikan semua kepada pertanyaan yang tak perlu jawaban. Bunyi yang dihasilkan sunyi dalam diri seorang aku, tidak mengenal bunyi lain. ia hanya menggetarkan sunyi sendiri dan sunyi sendiri memakan kesunyiannya sampai habis. Menjadi semacam selubung pikiran kalut yang berusaha mati-matian tidak menimbulkan ledakan di dada yang berujung dengan mencairnya es di mata. Sebelum sendiri menjadi sebuah gagasan yang kaya akan interpretasi bebas. Nampak sederhana tetapi rumit. Di setiap baris sajaknya selalu terselip keresahan tentang banyak hal sampai ia lupa menulis untuk apa. Dengan pencapaian yang pada hemat saya, mampu mengobrak-abrik lalu mengobral keakuan dalam diri saya yang sampai hari ini masih asing, saya akan bertanya, "jika sebelum sendiri semua tak punya arti maka setelah sendiri semua menjadi" ?

6 komentar:

  1. Teruslah berkarya kawan
    😀👍👍👍👍😊

    BalasHapus
  2. Bagus banget puisinya...saya juga suka puisi..dulu suka bikin tp sekarang udah mager 😁

    BalasHapus
  3. Boleh dong nih pesen puisi buat gebetan nanti

    BalasHapus
  4. pas waktu sd saya dulu suka banget sama sastra, puisi, pantun dll yg bau sastra. Sekarang dah lupa kalo duku saya anak sastra banget

    BalasHapus
    Balasan
    1. Hai, bro thank you sudah mampir. Wah ternyata sesama penikmat dan pelaku sastra ya, mari kalau begitu bro kembali ke jalan sastra. hahaha

      Hapus
  5. Saya yang penikmat puisi jadi ingin membeli

    BalasHapus