Sajak-Sajak Hasan Aspahani


Judul : Aviarium
Penulis : Hasan Aspahani
Editor : Arasy Nurjatmika
Ilustrasi Sampul : Hasan Aspahani
Desain Sampul : Suprianto
Setter : Nur Wulan Dari
Jumlah Hal : 78
Penerbit : PT Gramedia Pustaka Utama, 2019


TENTANG PENULIS


Hasan Aspahani lahir 9 Maret 1972, di Sei Raden, Samboja, Kutai Kartanegara, Kaltim. Ia menulis puisi, prosa, dan nonfiksi. Karya-karyanya berupa sejumlah buku puisi, kumpulan esai, dan buku tentang menulis puisi. Selain itu, ia juga menyiarkan puisinya di surat kabar.

Beberapa karyanya masuk hingga lima besar di Kusala Sastra Khatulistiwa. Pada tahun 2016, buku puisinya Pena Sudah Diangkat Kertas Sudah Mengering Gramedia Pustaka Utama, 2016) terpilih sebagai buku puisi terbaik dalam Anugerah Hari Puisi Indonesia.

Untuk mengintip apa yang sedang dikerjakan, ia dapat dikunjungi di studionya, yaitu www.matapuisi.com. Ia juga mengelola www.haripuisi.com yang ia sebut sebagai Antologi Tumbuh. Untuk itu, ia melacak puisi di majalah lama, buku-buku, situs web, serta antologi bersama untuk mencari puisi yang menurutnya sudah menyumbangkan dan memperkaya puisi Indonesia dengan pemilihan dan penggarapan tema dan cara ucap yang beridentitas. Dia beberapa kali diminta untuk memberi pelatihan di bengkel penulisan puisi untuk guru dan siswa oleh Badan Bahasa di berbagai daerah.

Aviarium


Jika kita saling bernaung di bawah
bayang-bayang kita sendiri
siapa yang harus terbang lebih tinggi
di ruang terkurung ini?

Hari pagi, hari petang, beralih arah kejatuhan bayang-bayang
Angkasa : sangkar raksasa, tak terpeluk dengan sayap sebentang

Mari kuerami telurmu, kucarikan dan kuberi makan anak-anakmu
Dunia : sarang besar, kita berdekapan, tak akan habis kehangatan

Ibu Pertiwi dan Royan Reformasi


REFORMASI adalah bayi kurus yang lahir setelah Ibu Pertiwi sekian lama ramai-ramai kita perkosa

Reformasi adalah bayi lemah yang tak bisa berjalan, Ibu Pertiwi menanggung royan, merintih dan tersiksa

Reformasi adalah bayi kandung yang menangis, kita enggan mengakui dan membesarkan, tak cukup kita beri perhatian

Reformasi adalah anak kesayangan yang kelaparan, sementara kita berebut menumpuk cadangan makanan

Reformasi adalah luka pada tubuh Ibu Pertiwi, bernanah, tak sembuh-sembuh, kita tutup mata dari linang airmatanya

Reformasi adalah hutan, tanah, gunung, lautan yang tak berhenti dicuri, kita tak peduli, kosong simpanan kekayaan

Reformasi adalah bayi sekarat yang tak mati-mati, kita tak berhenti berusaha memisahkan tubuh dan nyawanya

Di jalan Matraman


AKU belum bisa berdamai dengan engkau dan jalan ramai ini. Seperti kesetiaan yang sia-sia, berdiri di hadapan kemacetan menawarkan brosur kredit mudah untuk memiliki kendaraan.

Aku belum bisa pulang menemui engkau dan rumah yang belum selesai ketika dulu kutinggalkan. Aku tidak lelah tapi bosan harus jauh memutari jalan hanya untuk menyebrang ke kekosongan.

Tentang Seseorang yang Berjualan Agama


BISA kita omong-omong lagi? Sejenak duduk di perpustakaan atau di bangku taman sebagai teman lama, teman sekegalauan

Dia pandangi aku seperti penceramah menemukan jemaah sesat, terasing dari lembaran kitab, seorang umat kehilangan

Banyak dia bicara tapi tak bicara, kecuali terus saja bertanya : Lalu apa yang bisa kau beli, setelah kau jual juga agamamu?

Kami jalan di jalan yang sama, menuju alamat yang sangat berlainan

Dia paksa aku beli tafsir baru atas ayat-ayat lama, yang dulu kami omongkan, dengan gembira, di kamar atau teras asrama.
 

Seorang Dokter di Klinik Bahasa

            : untuk Dr Junaiyah H Matanggui

AKU bertemu dengannya di jalan Bahasa seusai menghadiri
sebuah rapat yang penuh Bahasa di Badan Bahasa Dia
berjalan sendiri bersama Bahasa. Matanya ramah binar Bahasa.
Senyumnya manis pesona Bahasa. Ketika ia berbicara, setiap
kata-kata senang diucapkan olehnya.

Dia bergandengan tangan dengan Bahasa. Tangan Bahasa 
memegang tangannya erat sekali. Padahal Bahasa sudah besar.
Sebesar kamus besar. Sudah bisa berjalan sendiri bahkan
berlari jauh menjauh darinya. Tetapi ia selalu ada di depan
Bahasa. Bahasa tak pernah bisa meninggalkannya. Ia tak pernah
meninggalkan Bahasa.

Saya tidak membesarkan Bahasa, katanya. Saya dibesarkan
Bahasa. Mendengar pengakuannya, saya sangat percaya betapa
besar cintanya pada Bahasa. Itu membuat saya menjadi kecil di
hadapannya dan di hadapan Bahasa. Saya selama ini ternyata
hanya pura-pura mengenal Bahasa.

Di tepi jalan Bahasa, tak jauh dari Badan Bahasa, ada penjual 
kata. Saya singgah di sana, membeli beberapa bungkus kata
Penjualnya seorang yang tak pandai menjaga kebersihan kata. Ia
menjual kata-kata dengan harga murah. Pencernaan kata saya jadi
terganggu setelah mencoba beberapa potong kata yang saya beli
disana.

Dia tiba-tiba ada di samping saya, menjewer kuping saya, dan menarik
tangan saya. Dasar bandel, katanya, jangan belanja sembarang kata,
jangan menelan kata-kata yang kotor. Dari kamus di dalam kepalanya
ia mengambil dan memberiku beberapa kata yang sehat. Untuk obat!
habiskan, katanya, jika masih terganggu pencernaan katamu, temui
saya di Klinik Bahasa.

Yang Menjebakmu dengan Tanggal Kedaluwarsa


PERGILAH, Pergilah dari hidupmu yang terlalu
mudah seperti toserba yang tak berhenti menawarkan
potongan harga. Pergilah dari hidupmu

yang terlalu bising, seperti toserba dengan
pramuniaga yang mengoceh tentang hadiah yang
membuat kau membeli apa yang tak kau perlukan. Pergilah

dari hidupmu yang semakin buru-buru. Lihat, apa yang
kau tumpuk di keranjang belanjamu itu? Makanan
siap saji yang menjebakmu dengan tanggal kedaluwarsa

Seorang Teman Bercerita Tentang Bagaimana Cara Menyesap Tebu

                : Jamil Massa


MISALKAN kami dua anak laki-laki dengan mulut
kering. Matahari membuat keringat kami amis dan lekas
menguapkannya. Udara menguarkan bau lelaki.

Misalkan ayah kami seorang raja yang telah mencium aroma
maut Ia memanggil kami ke halaman berudara kering dengan
debu jagung, kopra, dan pala.

Ia berdiri dengan dua batang tebu. Ia sebenarnya tidak peduli
pada haus kami Ia ingin menguji bagaimana kami
menerjemahkan itu pada sesuatu. Dari mana kami harus
menyesap manis ruas-ruas waktu itu?

Dalam sajaknya, teman yang bercerita kepadaku di terminal
bandara sambil merenungkan sepotong ayam itu memutuskan
siapa yang akhirnya menjadi pemenang dalam sayembara
tersebut.

Ia kemudian berpikir tentang bagaimana cara ia menghabiskan
burgernya.

Seperti Bicara dengamu dari Balik Jeruji Lokap


SEPERTI bicara denganmu dari balik jeruji lokap. Aku penduduk
tak berdokumen yang selalu salah dan tak jera menebak cuaca
yang tak bermusim lagi. Mendung itu akan menjadi hujan batu?
Atau hujan emas sepuhan palsu?

Aku selalu menganggap engkau adalah penjaga yang mudah
disogok.

Di negeri ini Kerasukan yang Tak Ada Batasnya seperti
membayang hadir di antara bait-bait indah dasar-dasar negara
dan astaga itulah satu-satunya sila yang selalu dilaksanakan- 
secara murni dan konsekuen-dalam hidup berbangsa dan
bernegara.

Malam Makassar


MALAM tua dan Makassar mengajak untuk tak
peduli waktu. Aku dan penyair itu
sejak semula seakan hendak menyusun
manifesto bersama untuk
hidup yang absurd,
atau kredo
gerakan surealisme
yang kalah menghadapi
peristiwa-peristiwa aneh di negeri
ini, misalnya: malam itu Makassar menutup
semua resto dan itu artinya tak ada cotto untukku.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar